Powered By Blogger

Minggu, 05 Februari 2012

Wajah Bercahaya


Senin, 20/06/2011 13:41 WIB
Oleh Ineu
Tak biasanya sepulang menunaikan shalat maghrib di masjid bersama ayah dan kakaknya, putri kecilku menguak pintu tanpa mengucap salam. Tangisnya terdengar sejak masih di halaman. Ia langsung menghambur dan memeluk saya sambil mengadukan sesuatu. Sayangnya, apa yang ia sampaikan di sela tangisnya itu tak dapat saya dengar dengan jelas.
Air matanya menetes menembus kain mukena yang masih membalut tubuh saya yang baru saja usai mengajari putri bungsu menghapalkan sebuah doa. Bahunya naik turun seirama tangisnya. Saya elus-elus ia, berharap dapat menenangkan hatinya agar tangis itu segera reda.
Tak lama kemudian pangeran kecilku masuk sambil mengucap salam. Raut mukanya terlihat ikut prihatin dengan kesedihan yang dialami adiknya. Tanpa diminta ia langsung menjelaskan apa yang menyebabkan adiknya bersedih.
Ternyata usai shalat maghrib tadi, mereka mampir ke sebuah mini market. Ayahnya hendak membeli suatu keperluan. Saat itulah si putri kecil merengek meminta ayahnya membelikan suatu produk kecantikan yang disinyalir dapat membuat wajah seorang wanita bercahaya dan tampak lebih muda. Ia ingin menghadiahkannya pada saya. Namun, sang ayah tak mengabulkan keinginannya itu.
Geli bercampur haru mendengar tuturan pangeran kecil tentang penyebab tangis si putri nan penuh perhatian ini. Rupanya, ia terjerat iklan yang sering tayang saat kami menyimak berita televisi. Tetapi terlepas dari bicara tentang perangkap iklan, saya merasakan niat mulia si putri yang baru berusia 4,5 tahun itu. Betapa besar perhatiannya hingga mencari-cari produk kecantikan tersebut. Padahal anak seusia ia biasanya sibuk memilih mainan, makanan atau minuman kesukaan saat menyertai orangtua berbelanja, iya kan?
Tangisnya mulai mereda, sepertinya ia merasa lega ada yang membantu menyampaikan kesedihan hatinya. Sejenak saya lepaskan pelukannya, sekedar ingin menatap bola matanya. Sebuah senyuman saya sunggingkan disertai ucapan terimakasih atas perhatiannya itu lalu kembali saya dekap ia dengan sepenuh rasa sayang di hati.
Sesaat kemudian saya lirik suami, memberi tanda padanya agar menjelaskan mengapa keinginan gadis kecil itu tak dipenuhinya. Spontanitas ingin membela anak terasa lebih merajai hati saat itu, padahal belum mengetahui jawaban sang ayah yang menyebabkan perasaan si putri terluka (mungkinkah ini yang dinamakan bagian dari naluri seorang ibu?).
Setelah berdehem beberapa kali, suamiku menceritakan alasannya bahwa ia tak membawa dompet, hanya berbekal uang yang ada di saku baju kokonya saat mendadak mampir ke toko tersebut. Belum usai ia bertutur, si putri kecil kembali meradang, “tapi aku kan ingin beli barang itu,... biar wajah bunda bercahaya kalo pake itu, huhuhhu...” tangisnya pecah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar